SEJARAH SENI RUPA BALI
Sejatinya seni lukis Bali merupakan bagian
terpenting dalam perkembangan sejarah seni rupa Indonesia. Namun babakan
sejarahnya dibaca berbeda dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Hal ini dapat
dicermati dari berbagai tulisan serta terbitan buku-buku seni rupa, yang selalu
mengulas seni lukis Bali pada kolom yang berbeda. Seperti buku karya Claire
Holt, (Art in Indonesia, Continuities and Change, 1967), pendapat Holt,
salah satu pokok pembeda adalah persoalan kehadiran dan pengaruh Islam di Jawa.
Tradisi yang hidup di Bali, menurut Holt mendapat perhatian khusus dan terpisah
karena tidak seperti budaya Jawa yang praktis telah lenyap dengan tersebarnya
agama Islam, kehidupan ritual Hindu-Budha di Bali terus berkembang tanpa
gangguan sampai abad ke duapulahan. (Enin Supriyanto, 2014, Gede Mahendra Yasa
“Post Bali” hal 11). Kemudian hal tersebut dipertajam dalam bukunpengantar
Indonesia Heritage Volume 7, 1998 ditulis Hilda Soemantri,
Bali merupakan bagian yang terpisah dan tak berhubungan dengan perkembangan
yang ada di Jawa ataupun bagian lain Indonesia secara keseluruhan. Maka dalam
buku ini seni rupa Bali baik yang “tradisional” maupun yang “modern” dan
“kontemporer” diulas khusus dan terpisah dari “Indonesia” (Enin Supriyanto,
2014, Gede Mahendra Yasa “Post Bali” hal 11).
Pertanyaan yang muncul kemudian haruskah
seni lukis Bali memiliki tempat yang berbeda? Kedua kenapa hal tersebut
dibedakan, disengaja? Atau ada hal lain yang melatar belakangi harus dibedakan?
Tentunya pertanyaan sederhana tersebut akan membongkar ulang akar sejarah seni
lukis Bali, hingga akan banyak rentetan pertanyaan yang muncul kemudian untuk
menempatkan utuh seni lukis Bali dalam jajaran seni rupa ‘Indonesia”.
Sudah menjadi bacaan
umum, perbedaan yang mencolok dari seni lukis Bali adalah ciri khas yang lahir
dari keadaan lokal, keadaan lokal ini diartikan sebagai situasi yang tumbuh
seiring nilai lain dari hasil budaya yang berkembang dari suatu daerah
diwilayah nusantara, sebelum bernama Indonesia dan merdeka sebagai negara yang
berdaulat. Kantung-kantung kebudayaan ini kemudian mentrasformasi nilainya
menjadi ciri kekhasan dari setiap daerah, dengan tata pemerintaah kerajaan yang
bebeda pula. Keyakinan
serta kepercayaan terhadap suatu agama, keyakinan aliran kepercayaan dan
lain-lain sangat besar berpengaruh dalam membentuk karakter suatu daerah di
nusantara. Walapun disadari garis utuh ciri-ciri kebudayaan disetiap daerah
masih memiliki sifat kesamaan.
Begitu pula hal yang
lebih luas diamati, kebudayaan nusantara tentunya berusaha mengelola nilainya
untuk berbeda dari kebudayaan negeri tetangga sehingga ketika ditampilkan dalam
bentuk-bentuk pertukaran budaya serta saling mengirim misi kebudayaan, serta
akan menampilkan ciri-ciri yang berbeda pula sehingga kata terakhir disebut
identitas. Identitas
inilah yang kemudian menjadi pemicu untuk melahirkan terus menerus kreatifitas
produk kebudayaan sehingga disebut memiliki identitas tersendiri dari produk
kebudayaan lainya. Dari pemaparan singkat diatas mulai kiranya dapat dipahami
sejauh mana kemudian identitas ini memiliki peran untuk memahami setiap gejolak
perjalanan sejarah setiap waktu.
Seni Lukis Bali sebagai salah satu identitas
produk kebudayaan nusantara, memilliki sejarah panjang memperkenalkan dirinya
sebagai identitas nusantara. Lahir dari jaman kerajaan, mengalami masa
kejayaan, surut oleh pergolakan peperangan melawan penjajah, hingga kemudian
mengalami pengkebiran politik kesenian era kemerdekaan. Perjalanan sejarah seni
lukis Bali telah memiliki akarnya tersendiri bersamaan dengan hadirnya masa
kejayaan kerajaan di Bali. Cikal bakal lahirnya seni lukis Bali pada jaman
kerajaan dapat ditinjau dari beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Raja anak
Wungsu pada abad 11, kemudian dikenal adanya kelompok yang mempunyai keahlian
melukis, yaitu salah satu prasasti terdapat goresan motif wayang yang
menggambarkan Dewa Siwa. Didalam naskah-naskah kuno berupa lontar-lontar yang
termuat cerita-cerita legenda atau ceritera wayang, banyak menggunakan
ilustrasi gambar yang indah dalam ukuran kecil atau miniatur. Ilustrasi atau
gambar tersebut merupakan cikal bakal seni lukis “klasik” Bali yang tumbuh dan
berkembang hamper diseluruh Bali (Drs. I Dewa Made Pastika 2010,Tinjauan
Sejarah Seni Lukis Gaya Pita Maha,).
Kemudian seni lukis
wayang ini berkembang di mulai di Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung Bali
sekitar abad 15 dan mencapai masa kejayaan pada pemerintahan Dalem Waturenggong
yang kemudian menyebarluaskan gaya Kamasan ke seluruh wilayah Bali. Sebagai
Pusat kekuasaan, kerajaan Klungkung membuat bangunan monumental yang masih ada
sampai saat ini yaitu bangunan gedung Kertha Gosa, dimana tempat tersebut
merupakan tempat penghakiman/pengadilan dan rapat umum dengan menghadirkan
mural wayang kamasan di langit-langit atap dengan berbagai cerita legendaris
seperti perjalanan Bhima ke Swarga Loka, diah tantri, sang garuda amerta serta
palelindon. Seiring penyebar luasan gaya Kamasan diseluruh wilayah Bali,
ternyata pakem dan corak gaya Kamasan yang disebarluaskan mengalami perubahan
rasa/ciri walaupun tidak frontal keluar dari syarat utuh pakem wayang Kamasan.
Semisal di wilayah Tabanan bentuknya diperpanjang, ornamennya serta pakaian
dipermegah serta daerah-derah lain di Bali.
Berangsur-angsur gaya Kamasan mengalami perkembangan
di abad-abad berikutnya, mulai jelajah material hingga garapan teknik serta
narasi yang mulai menyentuh hal-hal yang tidak bersifat religuitas, namun mulai
menggarapan tema-tema social dan lain-lain. Bukti-bukti tersebut nampak pada
karya-karya Ketut Gde, diakhir abad 18, memperlihatkan betapa visual gaya
Kamasan berkembang dengan menghadirkan wajah-wajah orang asing, ekspresi dan
lain sebagainya. Begitu pula menjelajah media berkembang di Kabupaten Buleleng,
lahir gaya Naga Sepaha sebuah nama desa di Singaraja, yaitu melukis
wayang diatas bidang kaca, perbedaannya dari segi bentuk tokoh-tokoh raksasa
dibandingkan tokoh-tokoh dewa, dibuat lebih besar berbeda dengan garapan wayang
diderah Bali selatan antara tokoh dewa dan raksasa ukuran anatominya hampir
sama. Kemudian matrial dari kaca yang dilukis terbalik, berbeda dari melukis
wayang pada umumnya dari bahan kanvas, kertas ulantaga dan kanvas kamasan
terkenal karena dibuat khusus dengan matrial tertentu yang digarap melalui
berbagai proses hingga terkesan lembut, kemudian digerus atau dihaluskan dengan
kulit kerang yang sepintas seperti pori-pori kain sutra. Begitupula dengan
kertas Ulantaga, yaitu bubur kayu yang diproses sehingga menjadi alami. Untuk
pewarnaan karya-karya gaya Kamasan pada umunya menggunakan warna alami, seperti
merah dari gincu, coklat muda dari batu gamping, warna putih dari tengkuk
tulang babi yang dihancurkan seperti bubuk kemudian ada dari tanduk
rusa/menjangan untuk memperoleh warna putih/zinkwhite. Warna hitam dibuat dari
jelaga atau mangsi/ink hasil dari kotoran lampu minyak yang diolah
menjadi warna hitam untuk pembuatan garis dengan manghasilkan karya-karya gaya
wayang Kamasan yang berwarna cerah, tajam serta kaya warna.
Seiring perkembangan sejarah serta interaksi
perdagangan masa kerajaan dan penjajahan, matrial tersebut bergeser menggunakan
produk-produk impor, seperti gincu china, tinta china, prada(warna emas), ancur
sebagai perekat warna dan sebagainya. Sehingga memudahkan untuk menggarap karya
lebih cepat. Pada dekade abad 18 an-19 an, karya wayang yang berkembang di
wilayah Gianyar seperti Ubud, Batuan, serta wilayah sekitarnya menjadi
“mengalami perubahan” sehingga seolah-olah missinglink (keterputusan)
karya-karya tersebut berubah menjadimonocrhome, sephia dan hitam-putih,
teks huruf Bali yang berisi kata-kata petuah serta identitas tokoh-tokohnya
menghilang berangsur-angsur, walaupun dibeberapa karya masih nampak. Namun
dimensi dekoratif Kamasan bertahan dengan bentuk-bentuknya mulai lebih
berkembang.
Hal tersebut menurut
analisa penulis diakibatkan pecahnya kerajaan di Bali menjadi kerajaan
kecil-kecil setelah pemberontakan Agung Maruti yang berhasil menumbangkan
kerajaan Klungkung/Kerajaan Gelgel dimasa raja Agung Dalem Dimade tahun 1665
dan berakhir tahun 1704. Kemudian dibantu oleh para tokoh-tokoh punggawa, manca
yang dahulu tersebar saat pemberontaan pertama Kriyan Batan Jeruk serta I Dewa
Anggungan sekitar tahun 1556, kedua pemberontakan I Gusti Talabah tahun 1578
namun kedua pemberontaan tersebut gagal, dan pemberontakan Agung Maruti
berhasil. Gagalnya
beberapa kali pemberontakan membuat para manca tersebar keseluruh Bali.
Untuk mengembalikan kembali kedaulatan kerajaan para punggawa dan manca
tersebut dipanggil untuk melawan kekuasaan Agung Maruti hingga kalah.
Kemenangan tersebut membuat raja Klungkung/Gelgel memberikan berdirinya
kerajaan-kerajaan kecil seperti Badung, Gianyar, Tabanan, Mengwi, Buleleng,
Jembrana, Bangli, Karangasem dan lain-lain untuk otonom. Kerajaan Klungkung
sendiri didaulat menjadi pusat kerajaan yang lebih memfokuskan masalah adat.
Faktor tersebut menurut penulis sangat berperan dalam membentuk identitas
kerajaan baru untuk membedakan dengan kerajan-kerjaan lainya di Bali.
Memasuki awal abad 19
bergolakan peperangan terjadi antara raja-raja Bali dengan pihak Belanda
dimulai dengan perang puputan Badung 1906, puputan Klungkung 1908,
peperangan Buleleng, Karangasem dan seterusnya diawal abad 19 berdampak
pada perubahan konstalasi politik di Bali. Sehingga Belanda memasuki Bali dalam situasi
bumi hangus, karena kerajaan-karajaan tersebut rata-rata hancur dan terbakar
yang berakibat kemudian Belanda mengalami tekanan hujatan dunia internasional
yang luar biasa. Untuk menggembalikan rasa tanggungjawab pihak Belanda,
kemudian Belanda menerapkan politik Baliseering, sebuah kebijakan
politik yang menggembalikan kemurnian “asli” Bali yang diharapkan dapat melihat
Bali seperti sedia kala. Dengan lahirnya banyak film dokumenter tentang Bali, dan karya-karya seni lukis Bali banyak dikoleksi
museum dan private diluar, sehingga banyak wisatawan asing mulai tertarik ke
Bali. Akibat politik Baliseering juga berdampak kepada dunia
seni rupa di Bali. Kehadiran Walter Spies tahun 1927 tahun dan Rudolf Bonnet
tahun 1929 mereka memutuskan menetap di Bali, sebagai seniman mulai menerapkan
misi “memoderniskan” secara intensif dan berhubungan dengan pelukis Bali,
walaupun sebelumnya ada pelukis asing yang pernah ke Bali seperti Nieuwenkamp
karena tertarik dengan melihat karya Kamasan di negaranya yang dikoleksi Van
Der Tuuk di universitas Laiden, namun tidak setinggi kedua pelukis asing
tersebut bersentuhan dengan pelukis lokal.
Karya I Dewa Kompyang Kandel Ruka. 1936
Interaksi antara
pelukis lokal dan asing kemudian terjadi saling terpengaruhan, karya-karya
pelukis asing mengalami perubahan juga, misalnya Bonnet yang mulai
meperlihatkan perbedaan karya ketika Bonnet masih di Eropa dengan karya-karya
di Bali, begitupula karya Walter Spies ketika masih di eropa dengan di Bali. Sehingga
beberapa penulis asing yang mengatakan pelukis lokal terpengaruh sepihak oleh
pelukis asing patut dipertanyakan dan direvisi penulisannya. Dari interaksi
tersebut dan dukungan politik kekuasaan, kemudian lahirlah sebuah kelompok Pita
Maha (Pita artinya kreatifitas dan Maha artinya tinggi, agung, dsb)
tanggal 29 Januari 1936 dibidani, Tjokorde Agung Sukawati (Raja Ubud), Rudolf
Bonnet, Walter Spies, I Gst Nyoman Lempad dan sederet nama-nama pelukis lain.
Dilihat dari sisi gerakan seni rupa, lahirnya
Pita Maha merupakan sebentuk pernyataan simbol tentang keberadaan perupa Bali.
Dengan adanya wadah organisasi tersebut kontrol terhadap mutu karya dan program
pameran dapat dirancang dengan baik, sehingga praktis Pita Maha dijamanya
berperan aktif dalam setiap event seni rupa, jejak Pita Maha dalam usahanya
memperkenalkan seni lukis Bali keluar daerah dan macanegara sangatlah gigih,
dan kemudian pada pameran dunia di Paris, Perancis dua anggota Pita Maha
mendapatkan mendali Perak yaitu Ida Bagus Gelgel dan Ida Bagus Kembeng (Suwaji,
1981). Suasana perdebatan dan adu argumen terus berjalan, salah satu
pelukis Nyoman Ngendon sangat berani menentang Bonnet dalam banyak hal mengenai
sudut pandang berkarya dan berkesenian.
Pita Maha kemudian
melahirkan dua gaya gaitu gaya Ubud dan Gaya Batuan, dimana gaya Ubud adalah
hasil interaksi dengan kecendrungan menampilkan unsur fotografis walaupun tidak
sempurna sedangkan Gaya Batuan adalah hasil interaksi teknik-teknik Barat
sederhana dan masih mempertahankan local genius seni lukis
Kamasan. Selain
itu di Ubud juga lahir gaya Young Artist dikembangkan oleh
Arie Smit, namun gaya ini lebih menonjolkan corak warna yang meriah dan
dekoratif, meniru aliran fauvisme di barat. Pecahan aliran/gaya tersebut
menyebar dan Sanur mendapatkan turunan gaya Batuan. Namun dari
perkembangan seni lukis Bali di Ubud sebagai sentral, praktis seolah-olah gaya
Kamasan terkunci dianggap klasik dan tradisional, fakta tersebut dapat dilihat
dengan lahirnya Museum Puri Lukisan yang mengusung wacana seni lukis modern
Bali.
Semangat universalisme modernisme merasuk
memetakan dua kutub modern atau tradisional pada wacana seni lukis Bali. Begitu
juga seterusnyas seni lukis Bali dianggap tradisional jika kemudian
disandingkan dengan seni rupa “nasional?” dengan digandang-gandang Raden Saleh
sebagai cikal-bakal seni rupa modern Indonesia? Padahal jika disandingkan
sejarah seni lukis Indonesia modern dengan data-data yang ada patut diperbaiki
kembali pemetaannya, karena seni lukis Bali mengalami perkembangan yang
“mungkin lebih dahulu” jika ditarik dari era Raden Saleh. Namun kekuatan
konspirasi politik kesenian di Indonesia yang masih minder dan kolot
menempatkan kelokalan sebagai sesuatu yang usang dan tradisionil.
Kembali pada perjalanan seni lukis Bali, diera
pergerakan revolusi, perlawanan terhadap Belanda berkobar-kobar, pelukis Nyoman
Ngendon, Djatasura, dan lain-lain berjuang memangku senjata untuk melawan
Belanda, dan ketika era revolusi, tahun 40-an pelukis Ngendon sempat bertemu
Affandi, S.Sujojono dan lain-lain. Dari interaksi tersebut lahirlah karya-karya
Ngendon yang bertemakan perjuangan hingga kemudian Nyoman Ngendon, I.B.M
Djatasura gugur pada medan pertempuran menjadi pahlawan Kusuma Bangsa.
Di-era kemerdekaan
tahun 60-an para kaum muda Bali yang mengeyam pendidikan senirupa di luar
Bali mulai memperaktekan “seni lukis modern” hasil studi karya-karya mereka
yang dianggap “modernis” berdampak pada arus besar pelukis-pelukis muda datang
ke luar daerah menyemam pendidikan, hingga lahir sebuah organisasi Sanggar
Dewata Indonesia (SDI) di tahun 70-an. Corak modernis sebagai akar dijadikan rujukan,
espresionis, abstarak, dan lain-lain, kemudian di era 80-an mengakat identitas
ke Bali-an dengan njelebret symbol-simbol hinduistik sebagai
narasi seperti tamyang, cilli-cillian, senjata-senjata dewata nawasanga
barong-barongan dan lain-lain.
Masuknya modernis SDI serta ditunggangi penulis
“nasional” mempertajam jurang antara wacana modern dan tradisional, hingga
kospirasi akademis, yang kemudian menjadi pengajar di perguruan-perguruan seni
di Bali, serta pendidikan menegah seni rupa, praktis seni lukis Bali dianggap
tradisional serta jenjangnya hanya sampai tingkat sekolah menengah. Otomatis
perupa yang ingin melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi yang berlatar belakang
seni lukis Bali, akhirnya pasrah memulai belajar seni lukis “modern”. Dengan
memangkas keahlian mengenal matrial serta media seni lukis Bali. Seharusnya
dengan lahirnya jurusan seni lukis Bali disebuah perguruan akan berdampak pada
pengembangan dan eksplorasi kreatif serta penjelajahan wacana seni lukis Bali
akan semakin tajam. Walapun ada kemudian penulisan riset akademis serta
idndividu terjadi, namun masih ragu-ragu, menganggap seni lukis Bali
“tradisional” meningkat menjadi pasca tradisional….sungguh terlalu.
Seni lukis Bali berkembang lewat sanggar-sanggar
kecil serta perupa-perupa mulai mendapat tempat, seperti Wayan Bendi,
Ketut Soki, Dewa Putu Mokoh, Kadek Murniasih. Disamping itu, banyak penulis
asing yang melakukan riset sejarah terhadap perkembangan seni lukis Bali,
dengan menempatkan seni lukis Bali diluar negeri sebagai seni rupa kontemporer.
Kemudian hadirnya wacana Bali Bangkit di tahun 2000-an awal cukup memberi andil
menempatkan posisi seni lukis Bali, walaupun kemudian banyak bacaan yang
tumpang tidih dan masih tunduk terhadap pewacanaan modernitas yang sudah usang.
hingga pembacaan seni lukis Bali di ranah seni rupa nasional selalu
ditempatkan berbeda, hal inilah yang perlu digaris bawahi untuk kemudian
melihat seni lukis Bali sebagai identitas seni rupa Indonesia yang
sesungguhnya. Kenapa demikian karena faktor kontruksi dan instrumen kerupaan
telah hadir dan diakui dunia sebagai karya seni lukis“painting” bukan
craft atau kerajinan. Status ini merupakan modal besar menempatkan identitas
seni lukis Bali bertarung ditingkat global dengan seni rupa mancanegara, dengan
saat ini, kiranya dapat dilihat seperti China, Korea, Jepang, Vietnam telah
bangkit memperkenalkan identitas seni rupa mereka di dunia seni rupa
kontemporer.
Memasuki tahun 2014,
kembali ranah seni lukis Bali melahirkan kelompok NEO PITAMAHA tepatnya 29
Januari 2014, sebuah kelompok seni rupa di Bali yang mengusung akar seni lukis
Bali yang dimotori I Gede Mahendra Yasa, Ketut Moniarta, Kemal Ezedine, Tang
Adimawan, dan lain-lain. Lahirnya kelompok ini bukan serta-merta melihat Neo-kebaruan dari Pita
Maha, namun meminjam semangat Pita maha untuk dihadirkan dalam dunia seni rupa
kontemporer yang lebih plural. Kelompok ini setiap individunya memiliki latar
belakang yang berbeda satu dengan yang lainya. I Gde Mahendra Yasa, Ketut
Moniarta, Kemal Ezedine hadir dari dunia “kotemporer” sedangkan yang lain murni
dari akar seni lukis “tradisional” Bali sehingga terjadi Hybriditas, makna
penyilangan ini tentu manghadirkan sesuatu yang baru bagi jelajah individu
masing-masing perupa dalam biangkai seni lukis Bali.
Akar seni lukis Bali menurut ‘analisa” Neo
Pitamaha adalah drawing hal ini menjadi tumpuan pengembangan seni lukis
Bali disamping pengenalan material bahan kanvas, warna, proses penggarapan
karya dan lain-lain. Drawing dalam seni lukis Bali, ada yang dinamakan
Rerajahan, (menorehkan) rerajahan adalah gambar-gambar symbol-simbol mistik
yang selesai dikerjakan dengan gambar-gambar drawing dan selesai. Berbeda
dengan pengerjaan karya lukisan Bali yang memerlukan tahapan-tahapan proses,
seperti nyeket,(sketsa) ngontur,(mempertegas sketsa
dengan tinta)ngeskes/nyelah, (mengatur volume objek-objek karya,
jauh deketnya)ngewarna,(memberian warna), nyenter (memberikan
tekanan jatuhnya cahaya pada objek karya) dan lain-lain, sehingga Setiap perupa
punya pekerjaan rumah masing-masing untuk kreatif menjelajah ‘aliran, gaya,
mazab’ yang hadir dalam perkembangan seni lukis Bali.
Pameran pertama seni lukis Bali secara tunggal
dihadirkan I Gede Mahendra Yasa dengan tema Post Bali, dikuratori oleh Enin
Supriyanto di gallery ROH Project Jakarta 1 maret 2014. Dalam pameran tunggal
tersebut Mahendra Yasa menghadirkan karya-karya kontemporer bernafaskan seni
lukis Bali, ternyata sambutan positif dan antusias datang dari penulis,
pengamat dan para perupa lain. Hadirnya seni lukis Bali dalam kancah seni rupa
kontemporer akan berbeda dari visual-visual umum ‘kontemporer” yang hampir
seragam di seluruh dunia. Disinilah letak keyakinan Mahendra Yasa untuk terus
mengeksplorasi seni lukis Bali sebagai identitas kontemporer ke-Indonesia-an.
Perupa yang lain anggota Neo Pitamaha, Ketut Moniarta yang juga berlatar
belakang kontemporer mencoba menjelajah tahap awal untuk eksplorasi drawing
seni lukis Bali dengan mencoba terus menerus mengenal material seni lukis Bali
hingga ke new media art, hingga kini karyanya jauh berbeda dengan
karya-karya kontemporer Moniarta sebelumnya. Kemal Ezedine salah satu
perupa yang menerapkan keyakinan seni lukis Bali dikembangkan dalam dunia
seni lowbrow, street art dan Mural
Art menyakini bahwa mural di Gedung Kertha Gosa, merupakan karya
mengagumkan, terinspirasi oleh Kertha Gosa serta memiliki kepekaan sebagai
perupa lowbrow ,street art dan Mural, Kemal
akhirnya mencoba menawarkan seni lukis Bali dalam wilayah kotemporer yang
bernafaskan lowbrow, street art
dan Mural.
Kemudian perupa-perupa lain yang datang dari seni lukis”tradisional” Bali, mulai tahap-demi tahap mencoba untuk lebih
eksploratif memahami seluk-beluk karya yang dianggap bisa hadir dalam seni rupa
kontemporer. Dengan demikian kelompok Neo Pitamaha adalah pelanjut perjalanan
sejarah seni lukis Bali yang mencoba menghadirkan identitas seni lukis Bali
dalam seni rupa kontemporer.
Kehadiran kelompok Neo Pitamaha ini mencoba
terus menggali kedalaman estetik, wacana, media seni lukis Bali, yang akan
dihadirkan dalam setiap event pameran seni rupa. Tentunya dengan semangat
identitas seni lukis Bali, saat ini sudah selayaknya untuk siap menerima
warisan leluhur sebagai modal dasar dalam bertarung dikancah seni rupa
kontemporer baik nasional maupun dunia.