Monday 23 November 2015

Sejarah seni rupa Bandung_Sejarah Seni Rupa Indonesia

SEJARAH SENI RUPA BANDUNG

Melihat sangat luasnya ruang lingkup seni rupa maka penulis dalam hal ini hanya akan membeberkan perkembangan seni murni saja karena mengingat seni murni dianggap sebagai pencetus awal modernisasi seni rupa Indonesia.
Perkembangan seni rupa Bandung ditandai dengan munculnya kelompok seni rupa Hindia Molek atau “Mooi Indie”  kelompok ini banyak menggambarkan lukisan-lukisan yang bertemakan pemandangan alam yang indah dan objek manusia. Ini dipertegas oleh Sudarmaji bahwa:
Masa ‘Hindia Jelita’, atau masa ‘Hindia Indah’, atau ‘Mooi Indie’, apapun namanya, masa itu merupakan masa yang menonjolkan sesuatu sifat yang diakibatkan sebagai suatu cara melihat dan memandang dunia sekelilingnya  dari aspek visualnya. Para seniman  pada masa ini memandang gejala sekelilingnya dari sudutnya yang molek, yang cantik, indah, permai dalam memuja alam Indonesia, terutama gunungnya, laut, sawah, bunga-bunga, manusia terutama gadis-gadis Indonesia yang cantik (Dharsono, 2004:143).
Kelompok ini muncul tentu tidak lepas dari pengaruh pelukis Barat (penjajah) yang melukis bertaraf hanya sebagai hobi atau kesenangan belaka. Hindia Molek atau “Mooi Indie” adalah sebuah perkembangan seni rupa sebelum lahirnya PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Semenjak dari masa itu perkembangan seni rupa atau bahkan kebudayaan di Indonesia merupakan perkembangan yang terlepas dari seni rupa prasejarah bahkan hal ini merupakan pembuka babak baru seni rupa modern Indonesia. Sekitar tahun 1908-1937 pelukis-pelukis “Mooi Indie” banyak memilih tempat untuk menetap di Bandung ini disebabkan karena alam keindahan Bandung merupakan objek yang sangat mendukung  dalam berkarya rupa pada saat itu, misalnya Abdullah Suryosubroto ia memilih Bandung yang akhirnya ia menetap di sana dengan alasan karena banyak orang asing bermukim yang merupakan konsumen utama seni lukis baru. Namun yang lebih penting bahwa Bandung merupakan letak yang strategis  karena berada di tengah-tengah alam raya yang indah dengan dikelilingi gunung-gunung  yang merupakan sorga bagi seorang pelukis “Mooi Indie”.
”…Rentang pandang kebiruan kaki langit dengan puncak gunung diselimuti awan tipis, mainan cahaya disela-sela bambu dan hutan belantara serta keelokan jalan atau sungai yang mengalir jernih menawan, melingkar di antara semak-semak dan pepohonan berlumut yang dipadu dengan hamparan sawah yang belum ditanamai. Bentang alam pegunungan yang tampak menghijau laksana lautan hijau mengepung gunung, di bawah sinar matahari pagi dengan senyum awan tipis lukisan Abdullah Suryosubroto mampu membawakan rasa keharuan dan perasaan tentram, yang telah hilang ditelan hiruk keramaian kota. Tidaklah mengherankan apabila lukisannya banyak diminati  orang-orang asing dan orang-orang Indonesia sendiri (Kusnadi dalam Dharsono, 2004:144).
Seni rupa Bandung merupakan salah satu muatan seni rupa modern dan kontemporer di Indonesia. Kalau kita lihat ke belakang hingga munculnya Pelukis Lima Bandung tentulah kita akan dapat menyimpulkan bahwa Bandung merupakan motor pergerakan seni rupa Indonesia dari pra-kemerdekaan, pasca kemerdekaan hingga sekarang. Seniman lainnya yang seangkatan dengan Abdullah Suryosubroto sebagai pengisi masa “Mooi Indie” yaitu Sukardji dan Kendar Kerton yang kemudian disusul oleh kelompok Lima Bandung yang aktif pada tahun 1935-1940 yaitu Affandi, Barli, Wahdi, Sudarso dan Hendra. Mereka semua merupakan seniman yang hidup dan berjaya di masa Kolonial hingga sekarang. Dengan pendidikan dari Belanda para pelukis Bandung masa lalu telah bisa membaca literatur Barat  antara lain gambar reproduksi  karya seniman Barat yang terkenal pada waktu itu.
Masa Pendidikan Tinggi Tahun 1947-1960-an
Lahirnya lembaga pendidikan seni rupa secara formal maupun nonformal sangatlah berarti bagi perkembangan seni rupa di Bandung, dengan berawal dari berdirinya sanggar-sanggar sebagai transformasi teknis, pengalaman, wawasan di antara para peserta didik. Baru sekitar tahun 1947 pendidikan tinggi seni rupa formal berdiri, pendirian ini berdasarkan pada  pemikiran seorang guru SMU bernama  Simon Admiral dan Ries Mulder, seorang seniman kebangsaan Belanda, dengan alasan bahwa bangsa Indonesia sudah tidak adil diperlakukan oleh Belanda.
Jika bangsa yang dijajah itu mendapatkan pendidikan dengan metodologi seperti Eropa, Barat, tentulah akan maju. Berangkat dari pemikiran bangsa Indonesia telah memiliki kemampuan tinggi dalam berolah seni dan telah dibuktikan dengan banyaknya karya-karya tradisional dan aktivitas seni lainnya, ini mendorong untuk didirikannya lembaga pendidikan tinggi seni rupa. Maka pada tanggal 1 Agustus 1947 didirikan “Universitaire Leergang Voor de Opleiding Tekenlaren” yang kemudian diubah ke dalam bahasa Indonesia dengan nama “Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar” yang tergabung dalam  Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik, Universitas Indonesia di Bandung (kini FSRD- ITB) dengan dosen berkebangsaan Belanda  dan salah satunya dari kaum pribumi bernama Sjafei Soemardja dengan akta mengajar dari Belanda yaitu “Middlebare Akte” dan pada tahun 1956 di lembaga tersebut dibentuk jurusan melukis di samping pendidikan yang mencetak  guru gambar.
Kemudian lembaga yang mencetak guru seni rupa selanjutnya dikelola oleh FKIP-UNPAD (sejak 1961) dan kini lembaga pendidikan guru seni rupa  tersebut berada pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa dan kerajinan IKIP Bandung yang sekarang menjadi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia)
 Seni Rupa Bandung Tahun 1970-1980-an
Masa 70-an, ditandai oleh maraknya pembangunan di sektor ekonomi, hal ini ditandai dengan masuknya penanaman modal asing sehingga memajukan roda industri dan perekonomian. Pertumbuhan perekonomian menimbulkan krisis sosial sehingga mendorong timbulnya berbagai ketimpangan sosial. Hal ini dijelaskan oleh A.D. Pirous sebagai berikut:
Perkembangan ekonomi yang mengalami pertumbuhan, melahirkan berbagai ketimpangan yang mendorong pergolakan sosaial dan politik, seperti misalnya kasus “malari” pada 1974, serta gelombang protes dan demonstrasi mahasiswa (A.D Pirous, 2003:172).
Suasana seperti itu berimplikasi pada  ruang seni rupa, yaitu ditandai dengan lahirnya gaya seni yang mengarah pada nilai-nilai spiritual dengan lahirnya lukisan-lukisan yang bernafaskan ke-Islaman seperti kaligrafi. Hal ini terus berkembang sehingga bermunculan seniman-seniman kaligrafi. Ini ditegaskan dengan jelas oleh A.D. Pirous:
… berbagai pameran yang diikuti banyak seniman dengan beragam gaya, dari kecenderungan gaya ekspresif seperti: Affandi, dan Amri Yahya di Yogya, serta gaya meditatif dari Ahmad Sadali, A.D. Pirous, A. Subarna dari Bandung, hingga gaya surealistis seperti Saiful Adnan dari Yogya yang juga kuat memperkaya ragam bahasa visual seni lukis kaligrafi Islami … (A.D. Pirous, 2003:173)
Tumbuhnya perekonomian di Indonesia Era 80-an mendorong timbulnya kegiatan berkesenian yang  mengakibatkan lahirnya sejumlah kolektor, galeri, art dealer dan lain-lain, kemudian disusul pembangunan perkantoran, hotel, real estate atau perumahan. Sehingga melahirkan kebutuhan barang seni sebagai elemen estetiknya. Ardiyanto (1998:55) menyebutkan …frekuensi penjualan lukisan dan pesanan patung mengalami lonjakan yang fantastis dan dengan sendirinya banyak seniman yang hidupnya berkecukupan, sehingga tidak salah jika G. Shidarta dalam makalah diskusi dalam pameran ASEAN ke-3 di Jakarta mensinyalir bahwa kecenderungan besar di mana seniman (seni) mengabdi kepada kekuatan ekonomi.
Realitas lain para perupa pemberontak pada masa ini mayoritas muncul dari kalangan mahasiswa akademi seni rupa di Bandung, mereka menganggap bahwa lembaga tempat menimba ilmu dinilai kaku, konservatif dan tidak progresif dalam menyikapi perkembangan seni rupa Indonesia. Pendek kata lembaga pendidikan seni rupa tidak dapat mengakomodir berbagai gagasan, motivasi atau keinginan kaum muda ( Ardiyanto, 1998:55).
Karya-karya yang dilahirkan pada masa ini tidak lagi memperhatikan nilai-nilai estetik dan mengejar wilayah artistik baru bahkan keluar dari wilayah dengan kode khusus, mereka menganggap praktek eksplorasi artistik sebagai ciri modernisme tidak dianggap penting. …pencarian esensi ekspresi, eksplorasi media, perkara orisinalitas, pencarian teknik baru tidak dipersoalkan pada karya-karya di era tahun 80-an… (Jim Supangkat dalam Ardiyanto, 2003:56).
Praktek seni rupa yang mempunyai kecenderungan menyimpang ini antara lain seperti karyanya Acep Zam-zam Noor, Irwan Karseno dengan mengangkat isu seks kemudian tokoh lainnya seperti Tisna Sanjaya dan Kristiawan, menyelenggarakan pameran gambar di sepanjang jalan Cikapundung-Bandung.
Pemilihan ruang publik tidak saja dikarenakan perkara ukuran yang relatif lebih besar namun secara tidak disadari hal ini jadi lebih dekat dengan lahirnya karya seni yang dapat diapresiasi oleh masyarakat khususnya warga kampus ini dilakukan oleh mahasiswa seni rupa IKIP Bandung (sekarang UPI) angkatan 1981 mereka mendobrak bahwa karya itu tidak selalu individual. Peristiwa ini sempat menjadi polemik dan kekalutan pada masyarakat kampus (Ardiyanto, 1998:62).

·        Mengapa sanggar masih dibutuhkan padahal akademi sudah ada?
Sanggar pada masa itu masing sangat dibutuhkan, karena sanggar adalah tempat dimana perupa bisa melatih kesenirupaannya disitu. Apalagi sanggar menerima banyak sekali kouta untuk seorang yang ingin belajar kesenirupaan, berbeda dengan akademi yang mana kuota untuk belajar seni itu sedikit.

Jadi sanggar dijadikan sebagai ekstrakulikuler yang tidak terbatas waktu. Kata lain dari sanggar adalah tempat berkumpulnya perupa-perupa yang ingin mengembangkan bakatnya. Sanggar = Komunitas perupa.

No comments:

Post a Comment