SEJARAH
SENI RUPA BANDUNG
Melihat sangat
luasnya ruang lingkup seni rupa maka penulis dalam hal ini hanya akan
membeberkan perkembangan seni murni saja karena mengingat seni murni dianggap
sebagai pencetus awal modernisasi seni rupa Indonesia.
Perkembangan
seni rupa Bandung ditandai dengan munculnya kelompok seni rupa Hindia Molek
atau “Mooi Indie” kelompok ini banyak menggambarkan lukisan-lukisan yang
bertemakan pemandangan alam yang indah dan objek manusia. Ini dipertegas oleh
Sudarmaji bahwa:
Masa ‘Hindia
Jelita’, atau masa ‘Hindia Indah’, atau ‘Mooi Indie’, apapun namanya, masa itu
merupakan masa yang menonjolkan sesuatu sifat yang diakibatkan sebagai suatu
cara melihat dan memandang dunia sekelilingnya dari aspek visualnya. Para
seniman pada masa ini memandang gejala sekelilingnya dari sudutnya yang
molek, yang cantik, indah, permai dalam memuja alam Indonesia, terutama
gunungnya, laut, sawah, bunga-bunga, manusia terutama gadis-gadis Indonesia
yang cantik (Dharsono, 2004:143).
Kelompok ini
muncul tentu tidak lepas dari pengaruh pelukis Barat (penjajah) yang melukis
bertaraf hanya sebagai hobi atau kesenangan belaka. Hindia Molek atau “Mooi
Indie” adalah sebuah perkembangan seni rupa sebelum lahirnya PERSAGI (Persatuan
Ahli Gambar Indonesia). Semenjak dari masa itu perkembangan seni rupa atau
bahkan kebudayaan di Indonesia merupakan perkembangan yang terlepas dari seni
rupa prasejarah bahkan hal ini merupakan pembuka babak baru seni rupa modern
Indonesia. Sekitar tahun 1908-1937 pelukis-pelukis “Mooi Indie” banyak memilih
tempat untuk menetap di Bandung ini disebabkan karena alam keindahan Bandung
merupakan objek yang sangat mendukung dalam berkarya rupa pada saat itu,
misalnya Abdullah Suryosubroto ia memilih Bandung yang akhirnya ia menetap di
sana dengan alasan karena banyak orang asing bermukim yang merupakan konsumen
utama seni lukis baru. Namun yang lebih penting bahwa Bandung merupakan letak
yang strategis karena berada di tengah-tengah alam raya yang indah dengan
dikelilingi gunung-gunung yang merupakan sorga bagi seorang pelukis “Mooi
Indie”.
”…Rentang
pandang kebiruan kaki langit dengan puncak gunung diselimuti awan tipis, mainan
cahaya disela-sela bambu dan hutan belantara serta keelokan jalan atau sungai
yang mengalir jernih menawan, melingkar di antara semak-semak dan pepohonan
berlumut yang dipadu dengan hamparan sawah yang belum ditanamai. Bentang alam
pegunungan yang tampak menghijau laksana lautan hijau mengepung gunung, di
bawah sinar matahari pagi dengan senyum awan tipis lukisan Abdullah
Suryosubroto mampu membawakan rasa keharuan dan perasaan tentram, yang telah
hilang ditelan hiruk keramaian kota. Tidaklah mengherankan apabila lukisannya
banyak diminati orang-orang asing dan orang-orang Indonesia sendiri
(Kusnadi dalam Dharsono, 2004:144).
Seni rupa
Bandung merupakan salah satu muatan seni rupa modern dan kontemporer di
Indonesia. Kalau kita lihat ke belakang hingga munculnya Pelukis Lima Bandung
tentulah kita akan dapat menyimpulkan bahwa Bandung merupakan motor pergerakan
seni rupa Indonesia dari pra-kemerdekaan, pasca kemerdekaan hingga sekarang.
Seniman lainnya yang seangkatan dengan Abdullah Suryosubroto sebagai pengisi
masa “Mooi Indie” yaitu Sukardji dan Kendar Kerton yang kemudian disusul oleh
kelompok Lima Bandung yang aktif pada tahun 1935-1940 yaitu Affandi, Barli,
Wahdi, Sudarso dan Hendra. Mereka semua merupakan seniman yang hidup dan
berjaya di masa Kolonial hingga sekarang. Dengan pendidikan dari Belanda para
pelukis Bandung masa lalu telah bisa membaca literatur Barat antara lain
gambar reproduksi karya seniman Barat yang terkenal pada waktu itu.
Masa Pendidikan
Tinggi Tahun 1947-1960-an
Lahirnya
lembaga pendidikan seni rupa secara formal maupun nonformal sangatlah berarti bagi
perkembangan seni rupa di Bandung, dengan berawal dari berdirinya
sanggar-sanggar sebagai transformasi teknis, pengalaman, wawasan di antara para
peserta didik. Baru sekitar tahun 1947 pendidikan tinggi seni rupa formal
berdiri, pendirian ini berdasarkan pada pemikiran seorang guru SMU
bernama Simon Admiral dan Ries Mulder, seorang seniman kebangsaan
Belanda, dengan alasan bahwa bangsa Indonesia sudah tidak adil diperlakukan
oleh Belanda.
Jika bangsa
yang dijajah itu mendapatkan pendidikan dengan metodologi seperti Eropa, Barat,
tentulah akan maju. Berangkat dari pemikiran bangsa Indonesia telah memiliki
kemampuan tinggi dalam berolah seni dan telah dibuktikan dengan banyaknya
karya-karya tradisional dan aktivitas seni lainnya, ini mendorong untuk didirikannya
lembaga pendidikan tinggi seni rupa. Maka pada tanggal 1 Agustus 1947 didirikan
“Universitaire Leergang Voor de Opleiding Tekenlaren” yang kemudian diubah ke
dalam bahasa Indonesia dengan nama “Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar”
yang tergabung dalam Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik, Universitas
Indonesia di Bandung (kini FSRD- ITB) dengan dosen berkebangsaan Belanda
dan salah satunya dari kaum pribumi bernama Sjafei Soemardja dengan akta
mengajar dari Belanda yaitu “Middlebare Akte” dan pada tahun 1956 di lembaga
tersebut dibentuk jurusan melukis di samping pendidikan yang mencetak
guru gambar.
Kemudian
lembaga yang mencetak guru seni rupa selanjutnya dikelola oleh FKIP-UNPAD
(sejak 1961) dan kini lembaga pendidikan guru seni rupa tersebut berada
pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa dan kerajinan IKIP Bandung yang sekarang
menjadi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia)
Seni Rupa Bandung Tahun 1970-1980-an
Masa 70-an,
ditandai oleh maraknya pembangunan di sektor ekonomi, hal ini ditandai dengan
masuknya penanaman modal asing sehingga memajukan roda industri dan
perekonomian. Pertumbuhan perekonomian menimbulkan krisis sosial sehingga
mendorong timbulnya berbagai ketimpangan sosial. Hal ini dijelaskan oleh A.D.
Pirous sebagai berikut:
Perkembangan
ekonomi yang mengalami pertumbuhan, melahirkan berbagai ketimpangan yang
mendorong pergolakan sosaial dan politik, seperti misalnya kasus “malari” pada
1974, serta gelombang protes dan demonstrasi mahasiswa (A.D Pirous, 2003:172).
Suasana seperti
itu berimplikasi pada ruang seni rupa, yaitu ditandai dengan lahirnya
gaya seni yang mengarah pada nilai-nilai spiritual dengan lahirnya
lukisan-lukisan yang bernafaskan ke-Islaman seperti kaligrafi. Hal ini terus
berkembang sehingga bermunculan seniman-seniman kaligrafi. Ini ditegaskan
dengan jelas oleh A.D. Pirous:
… berbagai
pameran yang diikuti banyak seniman dengan beragam gaya, dari kecenderungan
gaya ekspresif seperti: Affandi, dan Amri Yahya di Yogya, serta gaya meditatif
dari Ahmad Sadali, A.D. Pirous, A. Subarna dari Bandung, hingga gaya
surealistis seperti Saiful Adnan dari Yogya yang juga kuat memperkaya ragam
bahasa visual seni lukis kaligrafi Islami … (A.D. Pirous, 2003:173)
Tumbuhnya
perekonomian di Indonesia Era 80-an mendorong timbulnya kegiatan berkesenian
yang mengakibatkan lahirnya sejumlah kolektor, galeri, art
dealer dan lain-lain, kemudian disusul pembangunan perkantoran, hotel,
real estate atau perumahan. Sehingga melahirkan kebutuhan barang seni sebagai
elemen estetiknya. Ardiyanto (1998:55) menyebutkan …frekuensi penjualan lukisan
dan pesanan patung mengalami lonjakan yang fantastis dan dengan sendirinya
banyak seniman yang hidupnya berkecukupan, sehingga tidak salah jika G.
Shidarta dalam makalah diskusi dalam pameran ASEAN ke-3 di Jakarta mensinyalir
bahwa kecenderungan besar di mana seniman (seni) mengabdi kepada kekuatan
ekonomi.
Realitas lain
para perupa pemberontak pada masa ini mayoritas muncul dari kalangan mahasiswa
akademi seni rupa di Bandung, mereka menganggap bahwa lembaga tempat menimba
ilmu dinilai kaku, konservatif dan tidak progresif dalam menyikapi perkembangan
seni rupa Indonesia. Pendek kata lembaga pendidikan seni rupa tidak dapat
mengakomodir berbagai gagasan, motivasi atau keinginan kaum muda ( Ardiyanto,
1998:55).
Karya-karya
yang dilahirkan pada masa ini tidak lagi memperhatikan nilai-nilai estetik dan
mengejar wilayah artistik baru bahkan keluar dari wilayah dengan kode khusus,
mereka menganggap praktek eksplorasi artistik sebagai ciri modernisme tidak
dianggap penting. …pencarian esensi ekspresi, eksplorasi media, perkara
orisinalitas, pencarian teknik baru tidak dipersoalkan pada karya-karya di era
tahun 80-an… (Jim Supangkat dalam Ardiyanto, 2003:56).
Praktek seni
rupa yang mempunyai kecenderungan menyimpang ini antara lain seperti karyanya
Acep Zam-zam Noor, Irwan Karseno dengan mengangkat isu seks kemudian tokoh
lainnya seperti Tisna Sanjaya dan Kristiawan, menyelenggarakan pameran gambar
di sepanjang jalan Cikapundung-Bandung.
Pemilihan ruang
publik tidak saja dikarenakan perkara ukuran yang relatif lebih besar namun
secara tidak disadari hal ini jadi lebih dekat dengan lahirnya karya seni yang
dapat diapresiasi oleh masyarakat khususnya warga kampus ini dilakukan oleh
mahasiswa seni rupa IKIP Bandung (sekarang UPI) angkatan 1981 mereka mendobrak
bahwa karya itu tidak selalu individual. Peristiwa ini sempat menjadi polemik
dan kekalutan pada masyarakat kampus (Ardiyanto, 1998:62).
·
Mengapa sanggar masih dibutuhkan
padahal akademi sudah ada?
Sanggar pada
masa itu masing sangat dibutuhkan, karena sanggar adalah tempat dimana perupa
bisa melatih kesenirupaannya disitu. Apalagi sanggar menerima banyak sekali
kouta untuk seorang yang ingin belajar kesenirupaan, berbeda dengan akademi
yang mana kuota untuk belajar seni itu sedikit.
Jadi sanggar
dijadikan sebagai ekstrakulikuler yang tidak terbatas waktu. Kata lain dari
sanggar adalah tempat berkumpulnya perupa-perupa yang ingin mengembangkan
bakatnya. Sanggar = Komunitas perupa.
No comments:
Post a Comment