Monday 23 November 2015

SEJARAH SENI RUPA BALI_Sejarah Seni Rupa Indonesia


SEJARAH SENI RUPA BALI

Sejatinya seni lukis Bali merupakan bagian terpenting dalam perkembangan sejarah seni rupa Indonesia. Namun babakan sejarahnya dibaca berbeda dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Hal ini dapat dicermati dari berbagai tulisan serta terbitan buku-buku seni rupa, yang selalu mengulas seni lukis Bali pada kolom yang berbeda. Seperti buku karya Claire Holt, (Art in Indonesia, Continuities and Change, 1967), pendapat Holt, salah satu pokok pembeda adalah persoalan kehadiran dan pengaruh Islam di Jawa. Tradisi yang hidup di Bali, menurut Holt mendapat perhatian khusus dan terpisah karena tidak seperti budaya Jawa yang praktis telah lenyap dengan tersebarnya agama Islam, kehidupan ritual Hindu-Budha di Bali terus berkembang tanpa gangguan sampai abad ke duapulahan. (Enin Supriyanto, 2014, Gede Mahendra Yasa “Post Bali” hal 11). Kemudian hal tersebut dipertajam dalam bukunpengantar Indonesia Heritage Volume 7, 1998 ditulis Hilda Soemantri, Bali merupakan bagian yang terpisah dan tak berhubungan dengan perkembangan yang ada di Jawa ataupun bagian lain Indonesia secara keseluruhan. Maka dalam buku ini seni rupa Bali baik yang “tradisional” maupun yang “modern” dan “kontemporer” diulas khusus dan terpisah dari “Indonesia” (Enin Supriyanto, 2014, Gede Mahendra Yasa “Post Bali” hal 11).

 Pertanyaan yang muncul kemudian haruskah seni lukis Bali memiliki tempat yang berbeda? Kedua kenapa hal tersebut dibedakan, disengaja? Atau ada hal lain yang melatar belakangi harus dibedakan? Tentunya pertanyaan sederhana tersebut akan membongkar ulang akar sejarah seni lukis Bali, hingga akan banyak rentetan pertanyaan yang muncul kemudian untuk menempatkan utuh seni lukis Bali dalam jajaran seni rupa ‘Indonesia”.

Sudah menjadi bacaan umum, perbedaan yang mencolok dari seni lukis Bali adalah ciri khas yang lahir dari keadaan lokal, keadaan lokal ini diartikan sebagai situasi yang tumbuh seiring nilai lain dari hasil budaya yang berkembang dari suatu daerah diwilayah nusantara, sebelum bernama Indonesia dan merdeka sebagai negara yang berdaulat. Kantung-kantung kebudayaan ini kemudian mentrasformasi nilainya menjadi ciri kekhasan dari setiap daerah, dengan tata pemerintaah kerajaan yang bebeda pula. Keyakinan serta kepercayaan terhadap suatu agama, keyakinan aliran kepercayaan dan lain-lain sangat besar berpengaruh dalam membentuk karakter suatu daerah di nusantara. Walapun disadari garis utuh ciri-ciri kebudayaan disetiap daerah masih memiliki sifat kesamaan.

Begitu pula hal yang lebih luas diamati, kebudayaan nusantara tentunya berusaha mengelola nilainya untuk berbeda dari kebudayaan negeri tetangga sehingga ketika ditampilkan dalam bentuk-bentuk pertukaran budaya serta saling mengirim misi kebudayaan, serta akan menampilkan ciri-ciri yang berbeda pula sehingga kata terakhir disebut identitas. Identitas inilah yang kemudian menjadi pemicu untuk melahirkan terus menerus kreatifitas produk kebudayaan sehingga disebut memiliki identitas tersendiri dari produk kebudayaan lainya. Dari pemaparan singkat diatas mulai kiranya dapat dipahami sejauh mana kemudian identitas ini memiliki peran untuk memahami setiap gejolak perjalanan sejarah setiap waktu.

Seni Lukis Bali sebagai salah satu identitas produk kebudayaan nusantara, memilliki sejarah panjang memperkenalkan dirinya sebagai identitas nusantara. Lahir dari jaman kerajaan, mengalami masa kejayaan, surut oleh pergolakan peperangan melawan penjajah, hingga kemudian mengalami pengkebiran politik kesenian era kemerdekaan. Perjalanan sejarah seni lukis Bali telah memiliki akarnya tersendiri bersamaan dengan hadirnya masa kejayaan kerajaan di Bali. Cikal bakal lahirnya seni lukis Bali pada jaman kerajaan dapat ditinjau dari beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Raja anak Wungsu pada abad 11, kemudian dikenal adanya kelompok yang mempunyai keahlian melukis, yaitu salah satu prasasti terdapat goresan motif wayang yang menggambarkan Dewa Siwa. Didalam naskah-naskah kuno berupa lontar-lontar yang termuat cerita-cerita legenda atau ceritera wayang, banyak menggunakan ilustrasi gambar yang indah dalam ukuran kecil atau miniatur. Ilustrasi atau gambar tersebut merupakan cikal bakal seni lukis “klasik” Bali yang tumbuh dan berkembang hamper diseluruh Bali (Drs. I Dewa Made Pastika 2010,Tinjauan Sejarah Seni Lukis Gaya Pita Maha,).

Kemudian seni lukis wayang ini berkembang di mulai di Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung Bali sekitar abad 15 dan mencapai masa kejayaan pada pemerintahan Dalem Waturenggong yang kemudian menyebarluaskan gaya Kamasan ke seluruh wilayah Bali. Sebagai Pusat kekuasaan, kerajaan Klungkung membuat bangunan monumental yang masih ada sampai saat ini yaitu bangunan gedung Kertha Gosa, dimana tempat tersebut merupakan tempat penghakiman/pengadilan dan rapat umum dengan menghadirkan mural wayang kamasan di langit-langit atap dengan berbagai cerita legendaris seperti perjalanan Bhima ke Swarga Loka, diah tantri, sang garuda amerta serta palelindon. Seiring penyebar luasan gaya Kamasan diseluruh wilayah Bali, ternyata pakem dan corak gaya Kamasan yang disebarluaskan mengalami perubahan rasa/ciri walaupun tidak frontal keluar dari syarat utuh pakem wayang Kamasan. Semisal di wilayah Tabanan bentuknya diperpanjang, ornamennya serta pakaian dipermegah serta daerah-derah lain di Bali.

Berangsur-angsur gaya Kamasan mengalami perkembangan di abad-abad berikutnya, mulai jelajah material hingga garapan teknik serta narasi yang mulai menyentuh hal-hal yang tidak bersifat religuitas, namun mulai menggarapan tema-tema social dan lain-lain. Bukti-bukti tersebut nampak pada karya-karya Ketut Gde, diakhir abad 18, memperlihatkan betapa visual gaya Kamasan berkembang dengan menghadirkan wajah-wajah orang asing, ekspresi dan lain sebagainya. Begitu pula menjelajah media berkembang di Kabupaten Buleleng, lahir gaya Naga  Sepaha  sebuah nama desa di Singaraja, yaitu melukis wayang diatas bidang kaca, perbedaannya dari segi bentuk tokoh-tokoh raksasa dibandingkan tokoh-tokoh dewa, dibuat lebih besar berbeda dengan garapan wayang diderah Bali selatan antara tokoh dewa dan raksasa ukuran anatominya hampir sama. Kemudian matrial dari kaca yang dilukis terbalik, berbeda dari melukis wayang pada umumnya dari bahan kanvas, kertas ulantaga dan kanvas kamasan terkenal karena dibuat khusus dengan matrial tertentu yang digarap melalui berbagai proses hingga terkesan lembut, kemudian digerus atau dihaluskan dengan kulit kerang yang sepintas seperti pori-pori kain sutra. Begitupula dengan kertas Ulantaga, yaitu bubur kayu yang diproses sehingga menjadi alami. Untuk pewarnaan karya-karya gaya Kamasan pada umunya menggunakan warna alami, seperti merah dari gincu, coklat muda dari batu gamping, warna putih dari tengkuk tulang babi yang dihancurkan seperti bubuk kemudian ada dari tanduk rusa/menjangan untuk memperoleh warna putih/zinkwhite. Warna hitam dibuat dari jelaga atau mangsi/ink  hasil dari kotoran lampu minyak yang diolah menjadi warna hitam untuk pembuatan garis dengan manghasilkan karya-karya gaya wayang Kamasan yang berwarna cerah, tajam serta kaya warna.

Seiring perkembangan sejarah serta interaksi perdagangan masa kerajaan dan penjajahan, matrial tersebut bergeser menggunakan produk-produk impor, seperti gincu china, tinta china, prada(warna emas), ancur sebagai perekat warna dan sebagainya. Sehingga memudahkan untuk menggarap karya lebih cepat. Pada dekade abad 18 an-19 an, karya wayang yang berkembang di wilayah Gianyar seperti  Ubud, Batuan, serta wilayah sekitarnya menjadi “mengalami perubahan” sehingga seolah-olah missinglink (keterputusan)  karya-karya tersebut berubah menjadimonocrhome, sephia dan hitam-putih, teks huruf Bali yang berisi kata-kata petuah serta identitas tokoh-tokohnya menghilang berangsur-angsur, walaupun dibeberapa karya masih nampak. Namun dimensi dekoratif Kamasan bertahan dengan bentuk-bentuknya mulai lebih berkembang.

Hal tersebut menurut analisa penulis diakibatkan pecahnya kerajaan di Bali menjadi kerajaan kecil-kecil setelah pemberontakan Agung Maruti yang berhasil menumbangkan kerajaan Klungkung/Kerajaan Gelgel dimasa raja Agung Dalem Dimade tahun 1665 dan berakhir tahun 1704. Kemudian dibantu oleh para tokoh-tokoh punggawa, manca yang dahulu tersebar saat pemberontaan pertama Kriyan Batan Jeruk serta I Dewa Anggungan sekitar tahun 1556, kedua pemberontakan I Gusti Talabah tahun 1578 namun kedua pemberontaan tersebut gagal, dan pemberontakan Agung Maruti berhasil. Gagalnya beberapa kali pemberontakan membuat  para manca tersebar keseluruh Bali.  Untuk mengembalikan kembali kedaulatan kerajaan para punggawa dan manca tersebut dipanggil untuk melawan kekuasaan Agung Maruti hingga kalah. Kemenangan tersebut membuat raja Klungkung/Gelgel memberikan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil seperti Badung, Gianyar, Tabanan, Mengwi, Buleleng, Jembrana, Bangli, Karangasem dan lain-lain untuk otonom. Kerajaan Klungkung sendiri didaulat menjadi pusat kerajaan yang lebih memfokuskan masalah adat. Faktor tersebut menurut penulis sangat berperan dalam membentuk identitas kerajaan baru untuk membedakan dengan kerajan-kerjaan lainya di Bali.

Memasuki awal abad 19 bergolakan peperangan terjadi antara raja-raja Bali dengan pihak Belanda dimulai dengan perang puputan Badung 1906, puputan Klungkung 1908,  peperangan Buleleng, Karangasem dan seterusnya diawal abad 19 berdampak pada perubahan konstalasi politik di Bali. Sehingga Belanda memasuki Bali dalam situasi bumi hangus, karena kerajaan-karajaan tersebut rata-rata hancur dan terbakar yang berakibat kemudian Belanda mengalami tekanan hujatan dunia internasional yang luar biasa. Untuk menggembalikan rasa tanggungjawab pihak Belanda, kemudian Belanda menerapkan politik Baliseering, sebuah kebijakan politik yang menggembalikan kemurnian “asli” Bali yang diharapkan dapat melihat Bali seperti sedia kala. Dengan lahirnya banyak film dokumenter tentang Bali, dan karya-karya seni lukis Bali banyak dikoleksi museum dan private diluar, sehingga banyak wisatawan asing mulai tertarik ke Bali. Akibat politik Baliseering juga berdampak kepada dunia seni rupa di Bali. Kehadiran Walter Spies tahun 1927 tahun dan Rudolf Bonnet tahun 1929 mereka memutuskan menetap di Bali, sebagai seniman mulai menerapkan misi “memoderniskan” secara intensif dan berhubungan dengan pelukis Bali, walaupun sebelumnya ada pelukis asing yang pernah ke Bali seperti Nieuwenkamp karena tertarik dengan melihat karya Kamasan di negaranya yang dikoleksi Van Der Tuuk di universitas Laiden, namun tidak setinggi kedua pelukis asing tersebut bersentuhan dengan pelukis lokal.

Karya I Dewa Kompyang Kandel Ruka. 1936
Interaksi antara pelukis lokal dan asing kemudian terjadi saling terpengaruhan, karya-karya pelukis asing mengalami perubahan juga, misalnya Bonnet yang mulai meperlihatkan perbedaan karya ketika Bonnet masih di Eropa dengan karya-karya di Bali, begitupula karya Walter Spies ketika masih di eropa dengan di Bali. Sehingga beberapa penulis asing yang mengatakan pelukis lokal terpengaruh sepihak oleh pelukis asing patut dipertanyakan dan direvisi penulisannya. Dari interaksi tersebut dan dukungan politik kekuasaan, kemudian lahirlah sebuah kelompok Pita Maha (Pita artinya kreatifitas dan Maha artinya tinggi, agung, dsb)  tanggal 29 Januari 1936 dibidani, Tjokorde Agung Sukawati (Raja Ubud), Rudolf Bonnet, Walter Spies, I Gst Nyoman Lempad dan sederet nama-nama pelukis lain.

Dilihat dari sisi gerakan seni rupa, lahirnya Pita Maha merupakan sebentuk pernyataan simbol tentang keberadaan perupa Bali. Dengan adanya wadah organisasi tersebut kontrol terhadap mutu karya dan program pameran dapat dirancang dengan baik, sehingga praktis Pita Maha dijamanya berperan aktif dalam setiap event seni rupa, jejak Pita Maha dalam usahanya memperkenalkan seni lukis Bali keluar daerah dan macanegara sangatlah gigih, dan kemudian pada pameran dunia di Paris, Perancis dua anggota Pita Maha mendapatkan mendali Perak yaitu Ida Bagus Gelgel dan Ida Bagus Kembeng (Suwaji, 1981). Suasana perdebatan dan adu argumen terus berjalan, salah satu  pelukis Nyoman Ngendon sangat berani menentang Bonnet dalam banyak hal mengenai sudut pandang berkarya dan berkesenian.

Pita Maha kemudian melahirkan dua gaya gaitu gaya Ubud dan Gaya Batuan, dimana gaya Ubud adalah hasil interaksi dengan kecendrungan menampilkan unsur fotografis walaupun tidak sempurna sedangkan Gaya Batuan adalah hasil interaksi teknik-teknik Barat sederhana dan masih mempertahankan local genius seni lukis Kamasan. Selain itu di Ubud juga lahir gaya Young Artist dikembangkan oleh Arie Smit, namun gaya ini lebih menonjolkan corak warna yang meriah dan dekoratif, meniru aliran fauvisme di barat. Pecahan aliran/gaya tersebut menyebar dan Sanur mendapatkan turunan gaya Batuan.  Namun dari perkembangan seni lukis Bali di Ubud sebagai sentral, praktis seolah-olah gaya Kamasan terkunci dianggap klasik dan tradisional, fakta tersebut dapat dilihat dengan lahirnya Museum Puri Lukisan yang mengusung wacana seni lukis modern Bali.

Semangat universalisme modernisme merasuk memetakan dua kutub modern atau tradisional pada wacana seni lukis Bali. Begitu juga seterusnyas seni lukis Bali dianggap tradisional jika kemudian disandingkan dengan seni rupa “nasional?” dengan digandang-gandang Raden Saleh sebagai cikal-bakal seni rupa modern Indonesia? Padahal jika disandingkan sejarah seni lukis Indonesia modern dengan data-data yang ada patut diperbaiki kembali pemetaannya, karena seni lukis Bali mengalami perkembangan yang “mungkin lebih dahulu” jika ditarik dari era Raden Saleh. Namun kekuatan konspirasi politik kesenian di Indonesia yang masih minder dan kolot menempatkan kelokalan sebagai sesuatu yang usang dan tradisionil.

Kembali pada perjalanan seni lukis Bali, diera pergerakan revolusi, perlawanan terhadap Belanda berkobar-kobar, pelukis Nyoman Ngendon, Djatasura, dan lain-lain berjuang memangku senjata untuk melawan Belanda, dan ketika era revolusi, tahun 40-an pelukis Ngendon sempat bertemu Affandi, S.Sujojono dan lain-lain. Dari interaksi tersebut lahirlah karya-karya Ngendon yang bertemakan perjuangan hingga kemudian Nyoman Ngendon, I.B.M Djatasura gugur pada medan pertempuran menjadi pahlawan Kusuma Bangsa.

Di-era kemerdekaan  tahun 60-an para kaum muda Bali yang mengeyam pendidikan senirupa di luar Bali mulai memperaktekan “seni lukis modern” hasil studi karya-karya mereka yang dianggap “modernis” berdampak pada arus besar pelukis-pelukis muda datang ke luar daerah menyemam pendidikan, hingga lahir sebuah organisasi Sanggar Dewata Indonesia (SDI) di tahun 70-an. Corak modernis sebagai akar dijadikan rujukan, espresionis, abstarak, dan lain-lain, kemudian di era 80-an mengakat identitas ke Bali-an dengan njelebret symbol-simbol hinduistik sebagai narasi seperti tamyang, cilli-cillian, senjata-senjata dewata nawasanga barong-barongan dan lain-lain.

Masuknya modernis SDI serta ditunggangi penulis “nasional” mempertajam jurang antara wacana modern dan tradisional, hingga kospirasi akademis, yang kemudian menjadi pengajar di perguruan-perguruan seni di Bali, serta pendidikan menegah seni rupa, praktis seni lukis Bali dianggap tradisional serta jenjangnya hanya sampai tingkat sekolah menengah. Otomatis perupa yang ingin melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi yang berlatar belakang seni lukis Bali, akhirnya pasrah memulai belajar seni lukis “modern”. Dengan memangkas keahlian mengenal matrial serta media seni lukis Bali. Seharusnya dengan lahirnya jurusan seni lukis Bali disebuah perguruan akan berdampak pada pengembangan dan eksplorasi kreatif serta penjelajahan wacana seni lukis Bali akan semakin tajam. Walapun ada kemudian penulisan riset akademis serta idndividu terjadi, namun masih  ragu-ragu, menganggap seni lukis Bali “tradisional” meningkat menjadi pasca tradisional….sungguh terlalu.

Seni lukis Bali berkembang lewat sanggar-sanggar kecil serta perupa-perupa  mulai mendapat tempat, seperti Wayan Bendi, Ketut Soki, Dewa Putu Mokoh, Kadek Murniasih. Disamping itu, banyak penulis asing yang melakukan riset sejarah terhadap perkembangan seni lukis Bali, dengan menempatkan seni lukis Bali diluar negeri sebagai seni rupa kontemporer. Kemudian hadirnya wacana Bali Bangkit di tahun 2000-an awal cukup memberi andil menempatkan posisi seni lukis Bali, walaupun kemudian banyak bacaan yang tumpang tidih dan masih tunduk terhadap pewacanaan modernitas yang sudah usang. hingga  pembacaan seni lukis Bali di ranah seni rupa nasional selalu ditempatkan berbeda, hal inilah yang perlu digaris bawahi untuk kemudian melihat seni lukis Bali sebagai identitas seni rupa Indonesia yang sesungguhnya. Kenapa demikian karena faktor kontruksi dan instrumen kerupaan telah hadir dan diakui dunia sebagai karya seni lukis“painting” bukan craft atau kerajinan. Status ini merupakan modal besar menempatkan identitas seni lukis Bali bertarung ditingkat global dengan seni rupa mancanegara, dengan saat ini, kiranya dapat dilihat seperti China, Korea, Jepang, Vietnam telah bangkit memperkenalkan identitas seni rupa mereka di dunia seni rupa kontemporer.

Memasuki tahun 2014, kembali ranah seni lukis Bali melahirkan kelompok NEO PITAMAHA tepatnya 29 Januari 2014, sebuah kelompok seni rupa di Bali yang mengusung akar seni lukis Bali yang dimotori I Gede Mahendra Yasa, Ketut Moniarta, Kemal Ezedine, Tang Adimawan, dan lain-lain. Lahirnya kelompok ini bukan serta-merta melihat Neo-kebaruan dari Pita Maha, namun meminjam semangat Pita maha untuk dihadirkan dalam dunia seni rupa kontemporer yang lebih plural. Kelompok ini setiap individunya memiliki latar belakang yang berbeda satu dengan yang lainya. I Gde Mahendra Yasa, Ketut Moniarta, Kemal Ezedine hadir dari dunia “kotemporer” sedangkan yang lain murni dari akar seni lukis “tradisional” Bali sehingga terjadi Hybriditas, makna penyilangan ini tentu manghadirkan sesuatu yang baru bagi jelajah individu masing-masing perupa dalam biangkai seni lukis Bali.

Akar seni lukis Bali menurut ‘analisa” Neo Pitamaha  adalah drawing hal ini menjadi tumpuan pengembangan seni lukis Bali disamping pengenalan material bahan kanvas, warna, proses penggarapan karya dan lain-lain. Drawing dalam seni lukis Bali, ada yang dinamakan Rerajahan, (menorehkan) rerajahan adalah gambar-gambar symbol-simbol mistik yang selesai dikerjakan dengan gambar-gambar drawing dan selesai. Berbeda dengan pengerjaan karya lukisan Bali yang memerlukan tahapan-tahapan proses, seperti nyeket,(sketsa) ngontur,(mempertegas sketsa dengan tinta)ngeskes/nyelah, (mengatur volume  objek-objek karya, jauh deketnya)ngewarna,(memberian warna), nyenter (memberikan tekanan jatuhnya cahaya pada objek karya) dan lain-lain, sehingga Setiap perupa punya pekerjaan rumah masing-masing untuk kreatif menjelajah ‘aliran, gaya, mazab’ yang  hadir dalam perkembangan seni lukis Bali.

Pameran pertama seni lukis Bali secara tunggal dihadirkan I Gede Mahendra Yasa dengan tema Post Bali, dikuratori oleh Enin Supriyanto di gallery ROH Project Jakarta 1 maret 2014. Dalam pameran tunggal tersebut Mahendra Yasa menghadirkan karya-karya kontemporer bernafaskan seni lukis Bali, ternyata sambutan positif dan antusias datang dari penulis, pengamat dan para perupa lain. Hadirnya seni lukis Bali dalam kancah seni rupa kontemporer akan berbeda dari visual-visual umum ‘kontemporer” yang hampir seragam di seluruh dunia. Disinilah letak keyakinan Mahendra Yasa untuk terus mengeksplorasi seni lukis Bali sebagai identitas kontemporer ke-Indonesia-an. Perupa yang lain anggota Neo Pitamaha, Ketut Moniarta yang juga berlatar belakang kontemporer mencoba menjelajah tahap awal untuk eksplorasi drawing seni lukis Bali dengan mencoba terus menerus mengenal material seni lukis Bali hingga ke new media art, hingga kini karyanya jauh berbeda dengan karya-karya kontemporer Moniarta sebelumnya. Kemal Ezedine salah satu perupa yang menerapkan keyakinan seni lukis Bali dikembangkan dalam dunia seni lowbrow, street art dan Mural Art menyakini bahwa mural di Gedung Kertha Gosa, merupakan karya mengagumkan, terinspirasi oleh Kertha Gosa serta memiliki kepekaan sebagai perupa lowbrow ,street art dan Mural, Kemal akhirnya mencoba menawarkan seni lukis Bali dalam wilayah kotemporer yang bernafaskan lowbrow, street art dan Mural. Kemudian perupa-perupa lain yang datang dari seni lukis”tradisional” Bali, mulai tahap-demi tahap mencoba untuk lebih eksploratif memahami seluk-beluk karya yang dianggap bisa hadir dalam seni rupa kontemporer. Dengan demikian kelompok Neo Pitamaha adalah pelanjut perjalanan sejarah seni lukis Bali yang mencoba menghadirkan identitas seni lukis Bali dalam seni rupa kontemporer.

Kehadiran kelompok Neo Pitamaha ini mencoba terus menggali kedalaman estetik, wacana, media seni lukis Bali­­­­, yang akan dihadirkan dalam setiap event pameran seni rupa. Tentunya dengan semangat identitas seni lukis Bali, saat ini sudah selayaknya untuk siap menerima warisan leluhur sebagai modal dasar dalam bertarung dikancah seni rupa kontemporer baik nasional maupun dunia.



No comments:

Post a Comment